PAHLAWAN MELAYU RIAU YANG TERLUPAKAN
Tokoh
Pahlawan Melayu Riau, sebenarnya banyak. Hanya sudah banyak dilupakan hingga
sampai pada generasi millenium saat ini. Sebut saja, yang kita ingat adalah
Hang Tuah, Pahlawan Melayu Riau, Sultan Syarif Kasim II, ini pahlawan melayu
riau dari Siak Sri Indrapura (kini, bergelar Pahlawan Nasional. Menyusul Tuanku
Tambusai 2011 lalu), Tengku Sulung dari Reteh Indragiri Hilir, Raja Ali Haji
pahlawan ‘Gurindam 12′ melayu Riau dari Kepulauan Riau, Raja Haji Fisabilillah
dari Dabo Singkep, Datuk Tabano dari Kampar dan masih banyak lagi. Hanya
saja mereka semua banyak dilupakan.
Namun, berikut ini kami
kumpulkan tokoh melayu Riau ini dari berbagai sumber. Semoga rangkuman dapat
dinikmati dan bermanfaat bagi pembaca. Terimakasih.
- HANG TUAH
Penggambaran
Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang
menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Hang Tuah ialah
seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan
Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. ).
Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka
kira-kira dalam tahun 1444 A.D.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa
ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang
terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang di bawah pemerintahan Kerajaan
Majapahit, Konon Taming Sari dikenal pandai berkelahi,kebal senjata dan dapat
menghilang ,kemudian dilawan oleh Hang Tuah diketahui yang membuat Taming Sari
sakti terletak pada kerisnya, Hang Tuah berhasil merebut keris tersebut
kemudian membunuh Taming Sari. Kemudian keris tesebut diambil Hang Tuah dan
diberi nama Taming Sari , setelah menjadi kepunyaannya dan dipercayakan
bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang
Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat,
Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak
pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk
bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah
mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat,
dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat di
situ menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah
satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba,
Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat persembunyiannya dan
dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja. Setelah tujuh hari
bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan
membunuhnya di dalam pertarungannya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang
Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.
- SYARIF KASIM II
Syarif
Kasim II
(sumber: Wikipedia.com)
(sumber: Wikipedia.com)
Yang
Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil
Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II (lahir
di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 – meninggal di Rumbai, Pekanbaru,
Riau, 23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia
dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif
Hasyim.
Sultan
Syarif Kasim II adalah seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian
wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden
untuk pemerintah republik. Bersama sultan Serdang dia juga berusaha membujuk
raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak republik.
- TUANKU TAMBUSAI
Tuanku Tambusai
lahir di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu merupakan
salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak
sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah
pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.
Tuanku
Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali
dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama
Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah
dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku
Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini
diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
Sewaktu
kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk
ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.
Perjuangannya
dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu.
Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun
1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas,
Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan
ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari
perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam
kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda,
sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya,
benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke
tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku
Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja
Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak
kepada Belanda. Oleh Belanda beliau digelari “De Padrische Tijger van Rokan”
(Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah
menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya
diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal
28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu
rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya. Ia
mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12
November 1882.
Karena
jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pada tahun 1995 pemerintah
mengangkat beliau sebagai pahlawan nasional.
- TENGKU SULUNG
Tengku Sulung adalah seorang pejuang kemerdekaan yang memfokuskan
perlawanannya terhadap kolonial Belanda di daerah Reteh/Sungai Batang. Tengku
Sulung sendiri diperkirakan lahir di Lingga, Kepulauan Riau.
Sejak
Kecil, Sulung dididik dengan ajaran Islam yang ketat. Pemahamannya tentang
Agama Islam membuatnya tidak suka dengan Belanda. Bahkan Dia tidak mau
bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Tengku
Sulung memperoleh kedudukan sebagai Panglima Besar Reteh setelah Sultan
Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di Reteh. Waktu itu Sulung tidak mau
tunduk pada Sultan Sulaiman yang diangkat oleh Belanda untuk kawasan yang sama,
menggantikan Sultan Mahammad. Semula Tengku berkedudukan di Kotabaru Hulu Pulau
Kijang sekitar 16 mil dari Pulau Kijang.
Di
Desa ini Tengku Sulung membangun Benteng yang kelak ditandai dengan adanya Desa
Benteng, Sungai Batang, Indragiri Hilir di Hulu Sungai Batang. Dibenteng itulah
pertahanan Tengku Sulung dan pasukannya dalam melawan Belanda. Perjuangan
Tengku Sulung dan Pasukannya terhenti setelah Belanda membawa Haji Muhammad
Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang sebelumnya tertangkap oleh Belanda di
Kotabaru.
Tengku
Sulung pun di ultimatum oleh Residen Belanda supaya menyerah kepada Komandan
Ekspedisi. Akibatnya penyerangan pada 7 November 1858, banyak menewaskan rakyat
Reteh dan Tengku Sulung sendiri juga ikut tertembak di bagian leher oleh
pasukan Belanda.
- RAJA HAJI FISABILILLAH
Raja
Haji Fisabilillah (lahir di Kota Lama, Ulusungai,
Riau, 1725 – meninggal di Ketapang, 18 Juni 1784) adalah salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat, Indera Sakti, Tanjung
Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.Raja Haji Fisabililah merupakan adik kepada
Sultan selangor pertama sultan Salehuddin dan paman sultan Selangor kedua
Sultan Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang,
Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.
Raja
Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang
adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal
dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di
sungai Riau Lama. Karena keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki
(dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi. Ia
gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk
Ketapang (Melaka) pada tahun 1784. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka
(Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh Raja Ja’afar (putra mahkotanya pada saat
memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda).
- RAJA ALI HAJI
Raja Ali Haji bin Raja
Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja
Ali Haji (lahir di Selangor, ca. 1808 – meninggal di Pulau Penyengat,
Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan
pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu.
Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata
bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa
Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28
Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Ia
merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan
Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada
zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa
pertama di Nusantara.
Ia
juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan
Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam
penulisan sejarah Melayu.
Buku
berjudul Tuhfat al-Nafis (“Bingkisan Berharga” tentang sejarah Melayu), walaupun
dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan
tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap.
Meskipun
sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang
juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah
dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun
menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai
penasihat kerajaan. Kini, ia ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai
pahlawan nasional pada 5 November 2004 lalu.
- DATUK TABANO
Dikenal
dengan sebutan Gandulo menjadi Dubalang dari Datuk Tuo dan diberi gelar Datuk
Tabano. Gelar ini disematkan oleh Ninik Mamak suku Melayu Datuk Tua dengan
kesepakatan kaum persukuan, di Kabupaten Kampar.
Datuk
Tabano dikenal memegang kekuasaan ketika negeri sedang carut marut. Dengan
memiliki ilmu kebal diri, Datuk Tabano mampu mempertahankan Limo Koto
dari serbuan Belanda yang datang dari hulu. Sementara pusat pertahanan terletak
ditepi sungai Kampar di wilayah batu dinding rantau berangin. Sedangkan
pelocuan tonggak di daerah pulau Ompek Kuok.
Istrinya
bernama Halimah Siyam dikarunia dua anak masing masing bernama Abdullah dan
Habibah kesetian Halimah.
Pertengahan
tahun 1895, terjadi perang antara pasukan Belanda dengan pasukan rakyat
Limo Koto. Saat pasukan Belanda memasuki kandang perairan, perahu kompeni
tenggelam setelah dihajar pasukan Tabano.
http://www.linggapos.com/14117_pahlawan-melayu-riau-yang-terlupakan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar